Etika Kerja dalam Islam
Pengertian Kerja
Pengertian kerja dalam Islam dapat dibagi dalam dua bagian.
Pertama, kerja dalam arti luas (umum), yakni semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian kerja sangat luas, mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Pertama, kerja dalam arti luas (umum), yakni semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian kerja sangat luas, mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, kerja dalam arti sempit (khusus),
yakni kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia berupa makanan,
pakaian, dan tempat tinggal (sandang, pangan dan papan) yang merupakan
kewajiban bagi setiap orang yang harus ditunaikannya, untuk menentukan
tingkatan derajatnya, baik di mata manusia, maupun dimata Allah SWT.
Dalam melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan. Seperti bekerja dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena–mena (proporsional), ahli dan professional, serta tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (al-Quran dan Hadits).
Dalam melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan. Seperti bekerja dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena–mena (proporsional), ahli dan professional, serta tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (al-Quran dan Hadits).
Pertama, melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
“Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal
yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minuun [23] : 51).
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang
kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 172).
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya
Allah mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan suatu
pekerjaan dengan baik (ketekunan).” (HR. Al Baihaqi).
Dalam
memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah saw
melakukannya secara selektif, di antaranya dilihat dari segi keahlian,
keutamaan, dan kedalaman ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka
agar tekun dalam menunaikan pekerjaan.
Kedua, takwa dalam melakukan pekerjaan.
Kedua, takwa dalam melakukan pekerjaan.
“Janganlah kamu ikuti/rusak sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan) dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan.”
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwlah kamu kepada Allah."
“…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2] : 197).
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (TQS. Al-A’raf [7] : 26).
Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan didalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karenatujuan utama kerja adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika bekerja yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntunan Islam.
Ketiga, adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah,tidak menipu, merampas, mengabaikan sesuatu, dan semena–mena.
Pekerja harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan kewajiban–kewajiban Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu, mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja yang didasarkan pada prinsip–prinsip agama.
Cara seperti ini mempunyai dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Akhlak Islam tidak tergantung pada manusia bekerja atau tidak bekerja, namun akhlah Islam lahir dari aqidah Islam, konsisten pada ajaran–ajaran Islam serta bertalian dengan halal dan haram.
Keempat, adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Sikap
ini muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran
ketuhanan dan spiritualitasnya mampu melahirkan sikap–sikap kerja
positif. Kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun,
serta akan menghisab seluruh amal perbuatannya secara adil dan fair,
kemudian akan membalasnya dengan pahala atau siksaan di dunia.
Allah SWT berfirman:
“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,” (QS. Al-Kahfi [18] : 2).
Kesadaran inilah yang menuntut untuk bersikap cermat dan bersungguh–sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah, dan memiliki hubungan yang baik dengan relasinya.
“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,” (QS. Al-Kahfi [18] : 2).
Kesadaran inilah yang menuntut untuk bersikap cermat dan bersungguh–sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah, dan memiliki hubungan yang baik dengan relasinya.
Dewasa
ini sikap semacam itu telah banyak dilupakan orang. Hal ini disebabkan
karena lemahnya komitmen terhadap agama dan kurangnya konsistensi
terhadap ajaran–ajarannya. Oleh karenanya, harus diupayakan penanaman
ketakwaan dalam hati dan jiwa manusia.
Kelima, berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Rasulullah
saw pernah ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab
: “Jual beli yang baik dan pekerjaan seorang laki–laki dengan tangannya
sendiri “. (H.R Abu Ya’la). Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya
Allah adalah Dzat Yang Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima
(sesuatu) kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
orang–orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.”
(H.R Muslim dan Tirmidzi).
“Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap muslim.” (H.R Ath Thabrani)
“Empat
hal sekiranya ada pada diri anda maka sesuatu yang tidak ada pada
dirianda (dari hal keduniaan) tidak membahayakan anda, yaitu menjaga
amanah, berbicara benar, berperagai baik, dan iffah dalam hal makanan.”
(HR. Ahmad dan Ath Thabrani).
Keenam, dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat–alat produksi, atau binatang dalam bekerja.
Keenam, dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat–alat produksi, atau binatang dalam bekerja.
Para
ahli fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayangterhadap para
pekerja dan hewan yang dipekerjakan. Mereka yang sadar amat
memperhitungkan beban yang semestinya dipikul oleh para pekerja. Mereka
melarang membebani binatang diluar kekuatannya. Mereka menyuruh para
pekerja menurunkan barang–barang muatan dari atas punggung hewan yang
mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak membahayakan.
Demikian
pula terhadap alat–alat produksi, agar tidak dipergunakan secara terus
menerus tanpa ada waktu istirahat, guna mengurangi kerusakan yang
terlalu cepat, apalagi jika alat–alat tersebut milik umum.
Ketujuh, Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Ketujuh, Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Dalam
bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam
seperti memeras bahan–bahan minuman keras, sebagai pencatat riba,
pelayan bar, pekerja seks komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja dengan
penguasa yang menyuruh kejahatan seperti membunuh orang dan sebagainya.
Rasulullah saw bersabda :
“Tidak
ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai Sang Pencipta.” (HR.
Ahmad bin Hambal dalam Musnad-Nya dan Hakim dalam Al Mustadraknya,
kategori hadits shahih).
Kedelapan, kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.
Baik
pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di
umara, para hakim, para wali rakyat, maupun para pekerja biasa, mereka
adalah orang–orang yang disebut “pegawai tetap”.
Begitupun kelompok pekerja lain, seperti tukang sepatu, penjahit, dan
lainnya ; atau para pedagang barang–barang seperti beras; atau para
petani, mereka juga harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka
mandiri dalam kategori terakhir.
Allah SWT berfirman :
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Kesembilan, bekerja secara profesional (ahli).
Aspek
profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah
kemampuan untuk memahami dan melaksankan pekerjaan sesuai dengan
prinsipnya (keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh
sifat–sifat amanah, kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula
mengerti dan menguasai benar pekerjaannnya.
Umar
ra. sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka
orang–orang yang profesional dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw
mengingatkan: “Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (al-Hadits).
Jadi tanpa adanya profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan
mengalami kerusakan dan kebangkrutan. Juga menyebabkan menurunnya
kualitas dan kuantitas produksi, bahkan sampai pada kesemrawutan
manajemen, serta kerusakan alat–alat produktivitas. Hal–hal ini tentunya
jelas akan menyebabkan juga terjadinya kebangkrutan total yang tidak
diinginkan.Oleh: Abi Ummu Salmiyah
Comments
Post a Comment