Islam Memuliakan Wanita
Islam sering dituding sebagai agama yang tidak memihak wanita karena sebagian aturan-aturannya dianggap mengekang kebebasan kaum wanita. Aturan-aturan Islam klasik dianggap terlalu maskulin atau male-biased, cenderung bias jender, yang menempatkan wanita pada posisi nomor dua setelah kaum pria. Karenanya, aturan-aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini, karena bertentangan dengan konsep kesetaraan; seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan waris, poligami, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, nafkah, pakaian Muslimah; apalagi kepemimpinan laki-laki dalam negara yang jabatan ini memang diharamkan bagi wanita. Betulkah demikian??? Tulisan mencoba menjawabnya.
Bagaimana Islam Memandang Wanita?
Bagaimana Islam Memandang Wanita?
Islam merupakan dîn yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapanpun. Allah Swt. telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh problem hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan.
Aturan-aturan
Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia.
Sebab, Islam lahir dari Zat Yang menciptakan manusia; Dia Mahatahu atas
hakikat makhluk yang diciptakan-Nya. Islam memandang bahwa kebahagiaan
dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari materi yang dapat dihasilkan.
Islam memandang kemuliaan seseorang, baik pria maupun wanita, dari
ketakwaannya, sebagaimana firman-Nya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat
ini dengan sangat transparan menjelaskan bahwa kemuliaan seseorang di
hadapan Allah adalah karena ketakwaannya dan ketundukannya terhadap
aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan karena kedudukannya dalam
masyarakat, jenis pekerjaan, atau jenis kelaminnya..
Islam
memandang bahwa wanita adalah sosok manusia dengan seperangkat potensi
yang ada pada dirinya. Sebagaimana pria, wanita dibekali potensi berupa
akal, naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan
diri), serta kebutuhan jasmani sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang
Maha Pencipta. Oleh karena itu, Allah memberikan hak dan kewajiban yang
sama antara pria dan wanita; seperti kewajiban shalat, puasa, zakat,
haji, amar makruf nahi mungkar dan sebagainya.
Akan
tetapi, adakalanya syariat Islam menetapkan adanya pembebanan hukum
(hak dan kewajiban) yang berbeda bagi pria dan wanita. Kewajiban mencari
nafkah dibebankan kepada kaum pria, tidak kepada wanita; masalah
perwalian juga diserahkan hanya kepada kaum pria. Demikian pula dengan
kepemimpinan dalam negara; jabatan kekuasaan ataupun pengaturan urusan
umat secara langsung diberikan kepada kaum pria dan diharamkan kepada
wanita. Sedangkan masalah kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak, serta
peran dan fungsi lain sebagai ibu dan pengatur rumahtangga (ummu wa rabbah al-bayt) dibebankan kepada wanita saja dan tidak kepada pria.
Semua
pembedaan di atas tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi atau
ketidakadilan syariat Islam terhadap kaum wanita. Sebab, jika
dicermati, pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri
yang dimiliki oleh masing-masing, di samping menyangkut peran dan posisi
masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Justru pembedaan ini
merupakan cerminan dari kemahadilan dan kemahamurahan Sang Pencipta
kepada ciptaannya. Karenanya, dengan pembedaan ini, pria maupun wanita
dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah sebagai
hamba Allah, yang semuanya harus bermuara pada tujuan yang sama, yaitu
meraih ridha Allah Swt.
Islam Melindungi dan Mencerdaskan Wanita
Tidak
sedikit orang, terutama kaum feminis, yang memandang bahwa sebagian
aturan-aturan Islam membatasi ruang gerak atau mengekang kaum wanita.
Hal ini didasarkan pada adanya hadis-hadis yang sepintas lalu memang
terlihat seperti itu. Akan tetapi, jika kita perhatikan dengan cermat,
justru Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan wanita. Lihat,
misalnya, ayat al-Quran mengenai aturan memakai kerudung dan jilbab;
juga hadis tentang safar ataupun keharusan seorang istri meminta izin
kepada suaminya ketika ia harus keluar rumah, dan sebagainya.
Allah Swt. berfirman:
Janganlah
mereka menampakkan perhiasannya selain yang biasa tampak pada dirinya.
Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).
Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
wanita-wanita Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga
mereka tidak diganggu. (QS al-Ahzab [33]: 59).
Kedua ayat ini memerintahkan wanita untuk menutup aurat dan memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya agar mereka tidak menampakkan tempat-tempat perhiasannya. Jelas, bahwa Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan wanita dengan memerintahkannya untuk menutup tempat-tempat perhiasannya sehingga terhindar dari gangguan orang-orang yang akan mengganggu atau menyakitinya.
Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda:
Tidak
boleh seorang Laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita dan tidak
boleh seorang wanita melakukan perjalanan/safar (selama sehari semalam),
kecuali jika disertai mahram-nya. (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
Tidak halal seorang wanita berpuasa (sunnah), sementara suaminya
menyaksikannya, kecuali dengan izinnya. Tidak halal baginya mengizinkan
masuk (kepada orang lain) di rumahnya, kecuali dengan izin suaminya.
Tidak halal pula baginya membelanjakan harta suaminya tanpa seizin
suaminya, karena sesungguhnya harta yang ia belanjakan tanpa seizin
suaminya harus ia kembalikan kepadanya separuhnya. (HR al-Bukhari).Banyak hadis lain yang memerintahkan para suami untuk memperlakukan istrinya dengan makruf dalam kehidupan rumah tangga; juga larangan berkhalwat (berdua-duaannya seorang pria dengan seorang wanita), kecuali ditemani mahram.
Semua itu semata-mata bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan wanita, bukan mengekang kebebasan para wanita sebagaimana yang dituduhkan. Sebab, Islam tidak pernah melarang wanita keluar rumah atau bahkan bekerja atau beraktivitas di luar rumah selama terpenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Islam atasnya, juga selama ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengelola rumahtangga.
Di samping itu, wanita adalah bagian dari masyarakat. Sebagaimana kaum pria, ia pun bertanggung jawab terhadap corak kehidupan masyarakat serta sehat-sakitnya masyarakat. Apalagi wanita (ibu) adalah pendidik yang pertama dan utama. Di tangannyalah terbentuk generasi handal harapan umat; di tangannya pula tergenggam masa depan umat, karena ia adalah tiang negara, yang menentukan tegak atau runtuhnya sebuah negara/masyarakat.
Karenanya, Islam sangat mendorong para wanita untuk senantiasa tanggap terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya (sadar politik). Mereka juga terus didorong untuk membekali diri dengan pemahaman Islam sehingga mampu menyelesaikan seluruh problem yang ada di sekelilingnya dengan benar.
Senantiasa tersimpan dalam benak kita, betapa Rasulullah saw. tidak pernah membedakan para wanita dalam mendapatkan ilmu. Rasulullah saw. bahkan menyediakan waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum wanita atau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajari para wanita bersama mahram-nya.
Sangatlah jelas, bahwa Islam mencerdaskan kaum wanita, karena ia adalah juga bagian dari warga negara sebagaimana kaum pria; keduanya bertanggung jawab untuk membawa umatnya ke keadaan yang lebih baik.
Islam Memuliakan Wanita
Ketika Islam datang ke muka bumi ini dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw., sebenarnya telah sangat nyata bahwa Islam meninggikan derajat kaum wanita. Islam mencela dengan keras tradisi Jahiliah, di antaranya mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru dilahirkan atau pewarisan istri ayah kepada anak laki-lakinya. Celaan Islam atas perilaku Jahiliah tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan dan meninggikan derajat kaum wanita. Allah Swt. berfirman:
Jika
seseorang dari mereka dikabari dengan (kelahiran) anak perempuan,
merah-padamlah mukanya, dan ia sangat marah. Ia bersembunyi dari orang
banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia
akan memeliharanya dan menanggung kehinaan atau menguburkannya ke dalam
tanah hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu. (QS an-Nahl [16]: 58-59).
Rasul saw. juga bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Dari beberapa hadis di atas dapatlah dipahami, bahwa Islam benar-benar menghargai dan memuliakan kaum hawa. Banyaknya pujian yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya terhadap kaum wanita mengandung makna bahwa Islam meninggikan derajat kaum wanita; sedikitpun tidak menempatkan wanita pada posisi nomor dua setelah laki-laki. Artinya, Islam tidak pernah berlaku tidak adil kepada wanita. Ketika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan wanita duduk pada jabatan kekuasaan, tidak berarti bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi warga negara nomor dua setelah laki-laki. Sebab, dalam pandangan Islam, posisi apapun seseorang, apakah sebagai rakyat ataupun penguasa adalah sama, yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Keduanya sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing; penguasa sebagai pelaksana aturan-aturan Allah secara langsung, sedangkan rakyat sebagai pengontrol jalannya pemerintahan dan pengoreksi penguasa.
Adanya perbedaan ini tidak berarti yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari yang lain. Semua ini ditetapkan Allah sesuai dengan fitrahnya masing-masing; semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup manusia. Sebab, nilai kemuliaan seseorang di mata Allah tidak diukur dari jenis kelaminnya, tetapi karena ketakwaan dan ketundukkanya kepada-Nya. Keberadaan keduanya di dunia ini adalah sebagai makhluk Allah yang saling melengkapi dalam menjalani kehidupan, dengan pembagian peran yang jelas dan seimbang serta tetap mengacu pada aturan yang telah Allah berikan. Dengan itulah manusia, baik pria maupun wanita, dapat meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Oleh: Najmah Saiidah
Comments
Post a Comment